Aku gagal membina anak-anakku, dan gagal mengajarkan mereka tentang makna menghormati orang tua. Aku malu bertemu kerabatku satu kampung. Pasti mereka mencap ku sebagai ayah yang gagal. Sendainya tiba saatnya aku menngembalikan nafas ini kepada pemiliknya, aku tak sudi jasadku di kuburkan di kampung halamanku, seperti pesanku pada istriku. “Bila aku meninggal, kuburkanlah disini, jangan membawaku ketanah kelahiranku, apalagi ke sisi ibu yang melahirkanku, aku akan malu bertemu denganya di sorga sana, dia pasti memarahiku karena aku seorang ayah yang gagal”. Biarlah tanah perantaun ini yang menjadi kuburanku. Itu wasiatku.
Rasa sakit hati kepada anak-anakku membuatku jatuh dalam kehidupan ini. Aku tak ingin menemui mereka lagi, biarlah dikehidupan mendatang–bila ada– bisa bertemu kembali.
Apa aku mendoakan karma bagi mereka?. Tidak, karma bukan urusanku. Ada yang memberikan penilaian kepada semua umat manusia di bumi yang fana ini. Aku tak mau mengutuk, menyumpahi ke enam anakku, biarlah semuanya ditimpakan kepadaku, bahwa aku adalah laki-laki gagal.
***
Kulangkahkan kakiku perlahan, ada keraguan untuk melanjutkan jalanku. Dadaku sesak, aku tahu, ini pertanda tekanan darahku naik. Mungkin aku harus segera pulang, tak ingin terjadi apa-apa pada diriku.
“Kenapa balik, Oppung?, biasanya sampai ke pasar pagi sana?” ujar amaniMarsaulina
“Sepertinya cuaca kuarang baik, mungkin sebentar lagi akan hujan” aku berbohong
Lagu tadi masih terginang di kepalaku, aku tak mampu mengusirnya. Aku teringat akan darah dagingku yang telah mencampakkanku.
Hamu anakkonhu, tampuk ni pusu-pusungki
Pasabar ma amang, pasabar ma boru, lao pature-ture au
Nunga matua au, jala sitogu-toguon i
Sulangan mangan au, siparidion au, alani parsahitonki
Somarlapatan marende, margondang, marembas hamu, molo dung mate au
Somarlapatan nauli, nadenggan, patupaon mu, molo dung mate au
Uju di ngolungkon ma nian, tupa ma bahen angka na denggan
Asa tarida sasude holong ni rohami, marnatua-tua i.
Ah, itu hanya lagu.
Ku ingin menjalani sisa kehidupan ini dengan senyuman, bersama istri keduaku yang dengan setia dan penuh kasih merawatku. Toh, sebentarlagi malos ma bulung-bulung sian tanganku, aku kembali ke dunia yang kekal, kematian. Disana, aku pasti bertemu dengan ibu, ayah dan istriku NaiJonggi yang sudah menantiku dengan senyum, dengan dekapanya yang hangat.
Oleh: Hendry H L Gaol
Alamat di bonapasogit: Pakkat Humbang Hasundutan Sumatera Utara
alamat : Taman Sentosa Cikarang-Bekasi Jawabarat
FB: www.facebook.com/latteung
cermin -refleksi-peringatan. Perkataan sayang terkadang bias dalam mengartikan,sayang lebih banyak kita artikan memiliki/kebendaan padahal sebenarnya rasa sayang itu sesuatu yg tak bisa disentuh/bukan kebendaan.kalau kita sayang kpd orang tua kita? apakah semua yang berkaitan dengan kebendaan yg harus kita perhatikan ? pernakah kita mau cari tau apa hal hal yang terkait dengan yang dirasakannya ? kesepian – rasa kasih sayang – rasa sungkan (terkait dgn kebutuhan materil sep.cuci baju-cuci kolor) rasa ingin memiliki dan dimiliki, pernah kah terbersit dalam pikiran kita sebagai anajk ? bisakah kita sebagai anak hadir dalam setiap ruang perasaan orang tua kita ?
**
kehidupan sekarang yg komplesk dengan dinamika materi dan dinamika tantangan phisikis banyak mempengaruhi tindakan kita. pengaruh ini berakibat tanpa kita sadari tercipta menjadi manusia yang keras – keras dalam memandang hidup. keras inilah yang merubah kita dalam memberikan pandangan terhadap setiap dimensi kehidupan yang ada disekitar kita. tanpa kita sadari perkataan kita menyakiti orang tua kita – terlebih lagi kita jadi tidak bisa menangkap apa arti dari perasaan. kehidupan keras menghilangkan sifat sifat perasaan yang ada dalam diri kita.
horas, selamat buat penulis – kiranya terus berkarya di http://www.gobatak.com
fr. Safrudin Siahaan (SMPS)
[…] ‘Batak Satu Abad Perjalanan Anak Bangsa’ menceritakan fase-fase kehidupan orang Batak sejak zaman prasejarah sampai dengan masa terkini. Juga dilengkapi foto-foto era tahun 1800 dan […]