“Takdirku” – Hari masih sangat subuh, hujan sisa tadi malam pun masih menetes ketika aku melangkahkan kakiku. Aku mencium aroma hujan yang segar, dinginnya subuh serasa di kampung halamanku, desa Simanullang Toruan. Olahraga jalanpagi seperti ini adalah rutinitas yang sudah ku jalani tiga tahun terakhir. Itu nasihat dokter. Terasa dingin di telapakku ketika menginjak trotoar basah berkerikil itu. Sengaja ku tanggalkan sepatuku dan berjalan perlahan menyusuri jalan yang masih lengang itu. Syal berukuran sedang milik istriku melilit di leher menahan hembusan angin yang menerpa wajah tuaku. Usiaku sudah senja. Enam puluh delapan tahun lebih sedikit. Pun kata orang, aku masih kelihatan sehat dan gesit, sejujurnya beberapa penyakit sedikit demi sedikit, menghinggapi tubuhku. Kata dokter itu karena faktor usia.
Saban pagi, bila tidak hujan, lima kilometer ke depan kujalani sendirian. Kadang istriku menemani. Biasanya di gang ke tujuh dari sini, temanku Pak Sutisna sudah menungguku. Kadang, kami bertiga, anak bungsunya Muis menemaninya. Aku iri melihatnya. Di hari tuanya kini, anaknya dengan setia menemani. “Sudah kewajiban” kata Muis suatu ketika kala menanyakan soal ketekunannya menjaga Pak Sutisna. Di ujung sana ada pasar pagi Subang, yang setiap pagi ramai dikunjungi, membuat jalanan ini macet. Namanya juga pasar tumpah. Disana ada pak Dayan, sama seperti usiaku, sudah senja. Tapi fisiknya lebih kuat daripada ku. Aku tak percaya dia sudah tujuh puluh. Dilihat dari tubuhnya, mungkin masih empat lima. Seorang penjual nasi uduk yang tak pernah absen, kecuali lebaran. Ngobrol dan menikmati sarapan pagi nasi uduk buatanya terasa spesial. Sesekali anaknya yang selalu menemaninya berjualan menimpali obrolan kami. Mereka, sahabat-sahabatku ini selalu memanggilku dengan sebutan Oppung. “Itu sebutan yang sopan untuk seorang kakek-kakek, bukan?” tanya Pak Dayan. Entah darimana dia tahu sebutan itu.
cermin -refleksi-peringatan. Perkataan sayang terkadang bias dalam mengartikan,sayang lebih banyak kita artikan memiliki/kebendaan padahal sebenarnya rasa sayang itu sesuatu yg tak bisa disentuh/bukan kebendaan.kalau kita sayang kpd orang tua kita? apakah semua yang berkaitan dengan kebendaan yg harus kita perhatikan ? pernakah kita mau cari tau apa hal hal yang terkait dengan yang dirasakannya ? kesepian – rasa kasih sayang – rasa sungkan (terkait dgn kebutuhan materil sep.cuci baju-cuci kolor) rasa ingin memiliki dan dimiliki, pernah kah terbersit dalam pikiran kita sebagai anajk ? bisakah kita sebagai anak hadir dalam setiap ruang perasaan orang tua kita ?
**
kehidupan sekarang yg komplesk dengan dinamika materi dan dinamika tantangan phisikis banyak mempengaruhi tindakan kita. pengaruh ini berakibat tanpa kita sadari tercipta menjadi manusia yang keras – keras dalam memandang hidup. keras inilah yang merubah kita dalam memberikan pandangan terhadap setiap dimensi kehidupan yang ada disekitar kita. tanpa kita sadari perkataan kita menyakiti orang tua kita – terlebih lagi kita jadi tidak bisa menangkap apa arti dari perasaan. kehidupan keras menghilangkan sifat sifat perasaan yang ada dalam diri kita.
horas, selamat buat penulis – kiranya terus berkarya di http://www.gobatak.com
fr. Safrudin Siahaan (SMPS)
[…] ‘Batak Satu Abad Perjalanan Anak Bangsa’ menceritakan fase-fase kehidupan orang Batak sejak zaman prasejarah sampai dengan masa terkini. Juga dilengkapi foto-foto era tahun 1800 dan […]