“Amang, tak pernah terbersit dalam pikiranku untuk menduakan ibumu” ujarku
“Iya, Pa, kami akan menjaga Bapak” ujar Manaor anak bontotku
Aku tak ingat persis. Bertahun aku hidup menduda. Kehidupan terasa hanpa. Perlahan anak-anakku menjauh dariku. Mereka lebih mementingkan urusan masing-masing. Aku kesepian. Ingin rasanya segera menyusul istriku. Menuntut kepada sang halid untuk mempertemukanku dalam kematian. Apa bedanya orang mati dan orang hidup bila perasaan tersiksa. Aku tak menuntut banyak dari anak-anakku. Tapi merekalah harapanku. Hidup matinya diriku ada pada mereka.
Tuhan, kenapa jadi seperti ini?.
Masak sendiri, cuci baju, makan, dan lainya. Bahkan untuk berobat ke rumah sakit pun kulakukan sendiri. Semua anak-anakku terbuai dalam kegiatan masing-masing. Tak sekali dua kali aku mengingatkan, dan meminta mereka untuk memperhatikan kebutuhanku. “Aku sudah renta, Amang, Boruku, jangan terlalu sering meninggalkanku sendirian dirumah, sepi” pintaku kala itu
“Ah, Bapak, cari kesibukan sendirilah” ujar Halomoan, ketus
“Ikut kegiatan manula di gereja saja, Pa” ujar Rumondang
“Inilah upahku?” aku bertanya pada siriku sendiri.
Menikah bukan untuk kesenangan daging. Tak lebih adalah supaya aku tak hidup dalam kesunyian. Itulah pemahamanku kala itu, ketika kurasakan anak-anakku tak ada yang memberikan perhatiannya padaku. Anak-anakku tidak menerima keputusanku untuka menikah lagi. Aku tak menyangka, kalau pernikahan itu pula awal kehancuran keluarga besar kami. Apa susahnya menerima seseorang yang mampu dan mau mengurus orang tua sendiri?. Menikah bagi seorang duda bukanlah sebuah aib. Tidak dilarang agama, dan pernikahanku bertujuan baik, supaya ada yang merawatku.
Aku sadar, bahwa aku tak mungkin memaksa anak-anakku untuk merawatku. Biarlah orang lain melakukanya. Supaya anak-anakku bebas melakukan aktivitas mereka. Akua tak mau hidup di Panti Jompo, seperti yang pernah diutarakan Jonggi kepadaku.
“Kelak, bila suda semakin menua, Bapak akan kami masukkan ke pantijompo” ujar Jonggi
Darahku naik, aku marah, sangat marah.
“Waktu kau lahir, aku dan ibumu tak ada niat untuk menitipkanmu ke penitipan bayi, ingat itu” ucapku dengan nada tinggi.
Sepertinya mereka bukan anakku lagi, tapi orang lain. Entah iblis mana yang merasuki jiwa semua anak-anakku hingga mereka tega mengusir aku dan istri keduaku dari rumah yang kubangun sendiri. “Ini rumah ibu kami!” kilah mereka ketika menyuruhku pindah, tepatnya mengontrak rumah.
Sakit rasanya mendengar ucapan itu. Aku ini sudah renta. Seandainya mereka bukan anakku pun, mereka tak pantas mengusir orang dari rumah. Tapi itulah takdirku. Aku gagal. Apa dosa yang kuperbuat sehingga aku menuai buah-buah kehidupan seperti ini?. Aku mengajarkan mereka cinta kasih sebagai balasan aku terima perlakuan kasar.
Aku mengajarkan mereka iman kristiani, untuk menghormati orang tua, tapi yang kuterima adalah kata-kata kasar. Demi harta kah?. Aku menggugat takdirku, ini tidak adil. Aku akan iklas menerima semua ini bila si pemberi takdir menemukan ada perlakuanku yang kasar kepada anak-anakku ketika mereka masih kecil. Aku menggugat, dimana salahku. Dimana keadilan?, pantaskah ini kuterima?.
cermin -refleksi-peringatan. Perkataan sayang terkadang bias dalam mengartikan,sayang lebih banyak kita artikan memiliki/kebendaan padahal sebenarnya rasa sayang itu sesuatu yg tak bisa disentuh/bukan kebendaan.kalau kita sayang kpd orang tua kita? apakah semua yang berkaitan dengan kebendaan yg harus kita perhatikan ? pernakah kita mau cari tau apa hal hal yang terkait dengan yang dirasakannya ? kesepian – rasa kasih sayang – rasa sungkan (terkait dgn kebutuhan materil sep.cuci baju-cuci kolor) rasa ingin memiliki dan dimiliki, pernah kah terbersit dalam pikiran kita sebagai anajk ? bisakah kita sebagai anak hadir dalam setiap ruang perasaan orang tua kita ?
**
kehidupan sekarang yg komplesk dengan dinamika materi dan dinamika tantangan phisikis banyak mempengaruhi tindakan kita. pengaruh ini berakibat tanpa kita sadari tercipta menjadi manusia yang keras – keras dalam memandang hidup. keras inilah yang merubah kita dalam memberikan pandangan terhadap setiap dimensi kehidupan yang ada disekitar kita. tanpa kita sadari perkataan kita menyakiti orang tua kita – terlebih lagi kita jadi tidak bisa menangkap apa arti dari perasaan. kehidupan keras menghilangkan sifat sifat perasaan yang ada dalam diri kita.
horas, selamat buat penulis – kiranya terus berkarya di http://www.gobatak.com
fr. Safrudin Siahaan (SMPS)
[…] ‘Batak Satu Abad Perjalanan Anak Bangsa’ menceritakan fase-fase kehidupan orang Batak sejak zaman prasejarah sampai dengan masa terkini. Juga dilengkapi foto-foto era tahun 1800 dan […]