“Ah, daong. –Ah tidak–” jawabku pendek.
“Kupinjam lah dulu, Amang, aku ingin mendengarnya di rumah” imbuhku
“Gampanglah itu, nanti malam kuantar ke rumah” jawab amaniMarsaulina
Aku termenung dan syair lagu itu selalu terginang di kepalaku.
Teringat kepada anak-anakku. Jantungku berdegup kencang. Jujurnya, aku tak ingin mengenangnya. Aku selalu mencari kesibukan hanya untuk melupakan semua peristiwa yang menimpa keluargaku.
* * *
Saat bayang-bayang anakku menghinggapi kepalaku, perlahan tekanan darah meninggi. Istriku sudah paham betul penyakitku yang satu ini. Dia sangat kuatir aku mengalami storoke-kelumpuhan, akibat tekanan darah tinggi yang naik. Bukankah stroke ringan sudah pernah kualami?. Lihat lah wajahku sebelah kanan ini, tidak normal buakn?. Masih untung, medis bisa menyelamatkanku dari kelumpuhan, semua berkat doa dan semangat yang diberikan oleh istriku.
“Kenapa harus di pikirkan, sudahlah Pa, inilah suratan tangan kita” ujar istriku lembut seraya menyiapkan jus timun untuk menurunkan tekanan darahku.
“Tak ada niat untuk mengingatnya, tapi ada saja hal yang membuatku terkenang kesana”.
Aku tak habis pikir melihat perlakuan anak-anakku kepadaku. Ke enam anakku mencampakkan diriku. Dikala usiaku sudah senja, hal pahitlah yang kuterima dari mereka. Harus kuterima kenyataan pahit, terusir dari rumah yang kubangun bersama istri pertamaku, ibu mereka. Tak berdaya menghadapi kemauan ke enam anak-anakku. Hal yang tak masuk akal kuperoleh dari mereka.
Apa pernah aku berbuat jahat pada anak-anakku?, tidak!.
Masa itu, keluargaku cukup bahagia. Anak-anakku tumbuh sempurna, sehat dan pintar-pintar. Sekuat tenaga, ku sekolahkan ke enam anakku. Aku salut melihat kegigihan almarhum istri pertamaku. Bila hanya dengan gaji bulanan sebagai seorang pegawai negeri, mana mungkin ke enam anakku bisa lulus dari strata satu. Bahkan seorang diataranya berpendidikan magister. Dia orang yang ulet dan rajin, usaha dagangan kelontongnya ternyata bisa menambah penghasilan ku yang pas-pasan.
Hidup selalu ada dukanya. Itu tak bisa dipungkiri. Ibarat sisi kepingan uang logam, satu duka dan sisi sebelahnya adalah suka. Sangat tipis perbedaanya.
Kematian istriku membuatku jatuh. Benar, jika penyanggah rumah adalah tiang-tiang kokoh, maka tiang kokoh itulah istri. Aku merasakan itu. Dihari tuaku, aku didahului istrikut tercinta menghadap sang halid. Anak-anakku yang sudah dewasa, bahkan beberapa sudah berumahtangga memintaku untuk tidak memikirkan pernikahan lagi. “Toh, ada kami yang merawat bapak, bila bapak sakit” kata Jonggi anaklelakiku paling besar.
cermin -refleksi-peringatan. Perkataan sayang terkadang bias dalam mengartikan,sayang lebih banyak kita artikan memiliki/kebendaan padahal sebenarnya rasa sayang itu sesuatu yg tak bisa disentuh/bukan kebendaan.kalau kita sayang kpd orang tua kita? apakah semua yang berkaitan dengan kebendaan yg harus kita perhatikan ? pernakah kita mau cari tau apa hal hal yang terkait dengan yang dirasakannya ? kesepian – rasa kasih sayang – rasa sungkan (terkait dgn kebutuhan materil sep.cuci baju-cuci kolor) rasa ingin memiliki dan dimiliki, pernah kah terbersit dalam pikiran kita sebagai anajk ? bisakah kita sebagai anak hadir dalam setiap ruang perasaan orang tua kita ?
**
kehidupan sekarang yg komplesk dengan dinamika materi dan dinamika tantangan phisikis banyak mempengaruhi tindakan kita. pengaruh ini berakibat tanpa kita sadari tercipta menjadi manusia yang keras – keras dalam memandang hidup. keras inilah yang merubah kita dalam memberikan pandangan terhadap setiap dimensi kehidupan yang ada disekitar kita. tanpa kita sadari perkataan kita menyakiti orang tua kita – terlebih lagi kita jadi tidak bisa menangkap apa arti dari perasaan. kehidupan keras menghilangkan sifat sifat perasaan yang ada dalam diri kita.
horas, selamat buat penulis – kiranya terus berkarya di http://www.gobatak.com
fr. Safrudin Siahaan (SMPS)
[…] ‘Batak Satu Abad Perjalanan Anak Bangsa’ menceritakan fase-fase kehidupan orang Batak sejak zaman prasejarah sampai dengan masa terkini. Juga dilengkapi foto-foto era tahun 1800 dan […]