Saat berada di kota Pematang siantar suasananya terasa berbeda,udara-nya lebih dingin dan sejuk,Becak BSA berseliweran dijalan-jalan protokol,deru mesin-nya begitu khas,kendaraan roda tiga yang digunakan sebagai angkutan resmi kota ini,juga menjadi ciri khas kota Pematang siantar selama ini,peninggalan tentara sekutu yang telah di lestarikan sebagai bagian dari peningalan sejarah Perang Dunia ke dua.
Entah kemana saja mobil ini mengantar kan para penumpang itu tadi,hingga tiba saatnya giliranku untuk di antar
“Alamatnya dimana bang”?tanya sang sopir kepada ku
“Sidamanik,,”jawabku singkat
“Bah,,itu udah di luar rute kami bang”
“Ia aku tau,,tapi bisa kan?”
“bisa bang,,tapi tarifnya sama dengan tarif ke siantar-pakam,ya itu kalau abang mau,soalnya ini sudah diluar jangkauan rute resmi kami”.katanya melanjutkan.
Negoisasi tarif pun rampung,ahirnya aku diantar hingga ke sidamanik,sepanjang perjalanan dari siantar menuju sidamanik,pemandangan dikiri kanan jalan dihiasi oleh hamparan sawah yang membentang luas,suatu pemandangan yang tak pernah lagi kulihat dalam kurun waktu yang cukup lama.
Aroma asap sesekali terasa menusuk hidung dari tumpukan jerami yang sedang dibakar disana sini diareal persawahan dikiri kanan sepanjang jalan,sesekali laju mobil bermanufer dan rem mendadak untuk menghindari lobang-lobang yang menganga dibeberapa bagian permukaan jalan menuju Sidamanik.
Selama kurang lebih tiga puluh menit perjalanan,ahirnya kami pun tiba di kampung yang kutuju,
Sidamanik..!!.kampung yang lama ku tinggalkan,jalan yang dulu hanya dilapis aspal kasar berkerikil,kini telah berlapis Hotmix,melewati tanah lapang Sarimatondang,yang dulunya hanya satu jalur,kini telah berubah menjadi dua jalur,dilengkapi dengan separator pembatas jalan,begitu juga dibagian sisi kiri kanan jalan utama Sidamanik itu,dibangun trotoar.
Rumah dan bagunan-bangunan disisi kiri kanan jalan telah banyak yang berubah menjadi bagunan permanen.
Saat tiba di rumah,aku disambut dengan Pelukan hangat dari Ibu,yang biasa kupanggil”Inong”
inong yang sekian lama kutinggalkan dikampung,tubuhnya kian tua dan renta,wajahnya terlihat makin keriput,sorot matanya menatap nanar memandangi tubuhku dari ujung rambut hingga ke ujung kaki dengan seksama,seakan belum percaya akan kehadiranku,yang tiba-tiba sudah berdiri persis dihadapan-nya,tak kuasa aku menahan haru,hingga menitikkan air mata didekapan Inong.
Gelap kian menyelimuti kampung halamanku,suara burung Gagak dan binantang malam sesekali terdengar saling bersahutan memecah sunyinya malam.udara malam yang semakin dingin serasa menusuk hingga ke tulang,satu per satu para kerabat dan tetangga berdatangan ke Rumah kami,untuk menanyakan kabarku,juga kabar yang kubawa dari negeri seberang.
Keesokan harinya,saat mentari pagi mulai menampakkan sinarnya di ufuk timur,aku bergegas bangkit dari tempat tidur untuk jiarah ke makam Among,yang jaraknya tidak begitu jauh dari rumah kami.
aroma semerbak bunga-bunga kopi berwarna putih yang sedang bermekaran disekitar makam among disertai tingkah kicau burung Sipigo diatas pohon Ingou turut menyambut kehadiranku di makam Among dipagi itu.seketika aku langsung memeluk pusara Among,serta menumpahkan semua rasa rindu dan gundah yang selama ini terbelenggu oleh waktu dan jarak ribuan mil jauh-nya.
sejak kecil sosok ayah memang sangat dekat denganku,mungkin karena jarak umurku yang terpaut jauh diantara ke sembilan saudara-saudarku,yang terpaut lima tahun dan posisiku sebagai anak bungsu.


Ai dia do, tanggung nai cerpenon bah…
[…] menikah sebab sudah layak untuk berumah tangga. Namun si Anak perempuan tersebut tidak kunjung berjodoh. Anaknya baik, namun setiap laki-laki yang datang menghapirinya selalu gagal memasuki jenjang […]
[…] Baca juga: Cerpen Boru Ni Tulang […]