Awalnya dimulai dengan jatuhnya Jepang oleh bom Sekutu di Nagasaki dan Hirosima pada awal Agustus 1945. Jepang yang pada saat itu menduduki Indonesia menyatakan menyerah pada Sekutu. Kekalahan Jepang atas Sekutu ini menjadi kesempatan bagi proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dinyatakan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Dua peristiwa besar ini juga ikut memunculkan semangat patriotisme rakyat Tebing Tinggi. Berita kekalahan Jepang yang secara resmi disampaikan Fukubusuncho (setingkat Bupati/ Walikota) pada tanggal 22 Agustus 1945 dan berita proklamasi kemerdekaan RI yang sampai di Tebing Tinggi pada tanggal 16 September 1945 menjadi semangat munculnya kesatuan-kesatuan pemuda di wilayah kota Tebing Tinggi dan daerah-daerah di sekitarnya.
Pasca tersebarnya kedua berita besar tersebut, muncul juga isu bahwa Belanda akan mencoba menjajah kembali dengan membonceng tentara Sekutu. Menanggapi isu tersebut, seluruh rakyat Tebing Tinggi ikut memperlengkapi diri menghadapi serangan Sekutu dengan melucuti senjata tentara Jepang yang sedang menunggu kepulangan ke negaranya. Sedang tentara Jepang sebagai pihak yang kalah perang, diwajibkan menyerahkan senjata mereka kepada Sekutu.
Keadaan ini kemudian menimbulkan ketegangan antara tentara Jepang dan rakyat Indonesia di Tebing Tinggi dalam merebut senjata. Menyikapi hal ini, Komando Tentara Jepang Mayjend. S. Sawamura mengadakan perundingan dengan pemerintah Tebing Tinggi saat itu. Namun karena perbedaan kepentingan, perundingan yang terjadi tanggal 3 November 1945 di markas tentara Jepang di Kebun Bahilang tersebut tidak memberikan hasil sepakat.
Illustrasi: napaktilas peringatan 13 desember tebing tinggi (12/12/12)
Merasa bahwa diplomasi tak dapat memberi jalan, maka pemuda/ rakyat Tebing Tinggi memutuskan merebut senjata secara paksa dari tentara Jepang. Dari situ kemudian muncul berbagai insiden perebutan senjata yang diwarnai dengan perkelahian antara pemuda dan tentara Jepang, bahkan berakhir dengan terbunuhnya tentara Jepang. Ketengangan terus meningkat hingga tentara Jepang tak berani berjalan sendiri di kota Tebing Tinggi, tanpa barisan lengkap.
Menyusul semakin meningkatnya insiden perebutan senjata, pada tanggal 12 Desember 1945 pihak Jepang kembali mengundang pimpinan pemerintahan Tebing Tinggi dalam perundingan. Namun, pemuda/ rakyat yang curiga dengan kegagalan perundingan tersebut segera melakukan persiapan perang menghadapi tentara Jepang dengan memblokir seluruh akses jalan kota Tebing Tinggi. Namun hingga pagi hari 13 Desember 1945, tak terlihat gerakan mencurigakan dari tentara Jepang, sehingga rakyat membuka seluruh blokade jalan dan para pemuda serta laskar meninggalkan pos-pos jaga mereka.
Dan setelah suluruh blokade dibuka, pada pukul 14.30 hari itu 13 Desember, tentara Jepang segera mengepung kota Tebing Tinggi. Dengan gerakan perang dan dilengkapi sejumlah tank, tentara Jepang masuk dan menyusuri jalan-jalan kota Tebing Tinggi yang kemudian melakukan pembantaian terhadap setiap warga Tebing Tinggi yang dijumpai hari itu.
Dalam satu sesi wawancara yang diadakan Darapati Activity di Tebing Tinggi (12/12/2012), Abdul Haliq (45), seorang staf pengajar sejarah Sekolah Tinggi Ilmu Karbiyah Tebing Tinggi, mengatakan bahwa penyerangan dan pembantaian tentara Jepang ini berlangsung selama 9 hari, dimulai tanggal 13 hingga 22 Desember 1945. “Ini jelas kejahatan perang, karena korban yang jatuh di pihak kita adalah rakyat sipil,” demikian juga ungkapnya.
Penyerangan secara tiba-tiba, ketidaksiapan, dan kekurangan senjata menyebabkan banyaknya korban yang jatuh di pihak pemuda/ rakyat Tebing Tinggi. Bahkan Abdul Haliq juga membenarkan jumlah korban yang jatuh diperkirakan mencapai 2000 orang, mengacu pada informasi dan data yang ia temukan setelah beberapa tahun belakangan menelusuri secara aktif sejarah peristiwa berdarah kota Tebing Tinggi ini.
**************************
Support By: Andromax-I & Andromax Tab-7 Smartfren