Setinggi Apapun Pohon Akarnya Tetap di Tempat

3

Apabila tertarik mengenal “Yetty Aritonang” lebih dekat yang telah diwawancarai oleh Rini Clara (putri penulis alm. WS.Rendra) juga sebagai redaktur majalah Maestro dapat ditemukan di hal.52-55.
Bersama Gobatak diuraikan kembali reportase tersebut.

Ketika kecil, Yetty Aritonang punya cita-cita yang sederhana saja, ingin jalan-jalan keliling dunia. Ternyata cita-cita itu terkabul, tak sekedar menjelajahi hampir semua negara di dunia, bahkan ia menikah dan bermukim di Perancis sejak 1987.

Namun meski sudah 26 tahun bermukim di negara menara Eiffel itu, kelahiran Medan Ayah dari Muara dan Ibu dari Siborong-borong (Sumatera Utara), 12 Juli 1963 ini, tidak merasa kehilangan akar sebagai orang Indonesia. Bahkan di negeri supermodel itu, ia aktif memperkenalkan kebudayaan Indonesia lewat yayasan France-Indonesia, yang dibentuknya sejak 21 tahun lalu bersama ibu-ibu Indonesia yang bermukim di sana.

Setiap tahun yayasan ini menggelar acara budaya dan menyebar undangan gratis agar bisa menonton tarian Indonesia. “Di sana banyak wanita Indonesia yang pintar menari Jawa, Bali dan lainlain.  Mereka tidak dibayar. Kami menjual makanan dan hasil kerajinan Indonesia. Hasilnya kami kirim ke rumah yatim piatu di Indonesia berupa alat-alat sekolah. Nggak banyak sih, sekitar 10 juta rupiah. Tapi buat ibu-ibu Indonesia yang nggak punya pekerjaan, mereka merasa berguna,” celoteh Yetty yang juga belajar menari Bali dan Yapong.

Rencananya bulan Juni dan Oktober nanti, yayasan France – Indonesia akan menggelar pameran kain tradisional dari seluruh provinsi di Indonesia. Untuk itu mereka menjual tiket seharga 2 Euro yang 
nantinya disisihkan untuk rumah yatim di tanah air.

Bertahun-tahun hidup di Perancis, membuat istri dari Juge, dan ibu dari Victor Juge (14) ini, merasa kagum pada pola hidup orang Perancis yang sangat disiplin. “Yang paling nyata, kebiasaan di sana kalau janji harus tepat waktu, nggak ada alasan. Kalau kita terlambat 15 menit saja sudah ditinggal. Dalam memutuskan sesuatu, orang Indonesia terlalu banyak pertimbangan. Di Perancis, ambil garis titiknya lalu putuskan. Keputusan apapun harus dikembangkan,” tutur penulis novel “Bunga-bunga Paris-Jakarta” (Les Fleurs, Paris-Jakarta) ini.

Dalam hal kependudukan, perkembangan ekonomi Perancis yang berpenduduk sekitar 66 juta jiwa ini sudah pasti lebih pesat. Pria Indonesia yang ingin menikah, biasanya masih mementingkan virginitas. “Perempuan di sana rata-rata minimal berumur 30 tahun untuk memutuskan berumah-tangga karena segi kejiwaannya sudah matang. Dia harus merasa cocok benar untuk pernikahan yang panjang. Sekarang ini banyak diantara mereka mau menikah tapi nggak mau punya anak.

Makanya sejak perang dunia ke-2 sampai sekarang statistik kependudukan di negara Perancis hampir stabil antara kelahiran dan kematian,” jelas pemilik tinggi 161 cm dan berat badan 55 kg ini panjang lebar.
Perjuangan penyantap segala masakan Indonesia ini untuk sampai ke Perancis lumayan panjang. Sejak usia 8 tahun, anak tunggal pasangan (Alm) TNI-AD Dompak Arthur Aritonang dan (Alm) Portua Bethalina Sihombing ini tinggal bersama tantenya di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta. “Sebagai orang Batak, anak perempuan dianggap tidak seberapa penting daripada anak laki-laki Batak,” keluh Yetty.
Setamat D-2 Akunting pada Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Jakarta, Yetty sempat bekerja di kantor Mien R. Uno. Namun sebagai anak tunggal, ia ingin mengubah nasib. Kebetulan salah seorang pamannya yang mendapat tugas di KBRI Paris. Maka di tahun 1987, Yetty ikut bersama keluarga sang paman di Paris. “Di rumah paman, saya mengurus anak-anak beliau, imbalannya saya dibiayai sekolah. Tadinya Yetty ingin meneruskan Akunting, tapi gagal tes. “Jadi saya masuk Sastra Perancis karena yang paling mudah untuk masuk sekolah bahasa,” jelas lulusan D-3 University of Sorbonne (1991) ini.

Beberapa bulan menjelang tugas pamannya berakhir, iseng-iseng Yetty melamar pekerjaan dan diterima sebagai Asisten Direktur pada Copex SA – sebuah perusahaan ekspor impor di bidang IT.  Ia juga sempat bekerja di agen perjalanan. Berikutnya, di tahun 1994, Yetty bergabung dengan SGS – SURVEYOR INDONESIA (PTSI), sebagai duane Indonesia yang ada di Perancis.  Dulu kalau ada barang yang tiba di Indonesia, langsung dikontrol oleh duane di tempat. “Nah waktu itu Surveyor Indonesia yang ada di Eropa, bagi negara-negara yang mengekspor ke Indonesia, barang langsung dikontrol di pabriknya. Kita siapkan label kode duane, harga persisnya agar tidak ada persaingan harga. Jadi begitu barang masuk ke Indonesia, tinggal masuk saja nggak lagi disentuh duane Indonesia,” tutur perempuan yang mengaku workaholic ini. Ketika krisis ekonomi besar-besaran melanda dunia 1997, Menkeu Indonesia – ketika itu Bapak Mari’e Muhammad pada tahun 1998 menarik semua kegiatan PTSI yang ada di Eropa. Tentu saja hal ini membuat penggemar olahraga bowling, renang, dan joging ini terkena PHK.

Tak betah berlama-lama menganggur, pemakai parfum Hermes ini iseng melamar dan diterima sebagai Direktur Keuangan di sebuah perusahaan Perancis perusahaan genteng berbahan mineral yang tidak menyebabkan kanker. Namun karena perusahaan dijual (2008), setelah sepuluh tahun berkarir lagi-lagi bersama 8 teman di direksi keuangan terkena PHK dengan kompensasi 2 tahun gaji dan hakhak lainnya.

Di Perancis, sebagai pengangguran, ia harus hadir untuk mengikuti training keahlian dari pemerintah Perancis agar siap bekerja kembali apabila ada kesempatannya.

Yetty kebingungan apa yang harus dikerjakan. Sebab ia terbiasa bangun pukul 5 pagi untuk menyiapkan sarapan keluarga. “Begitu jam 7 mereka pergi, bingung mau ngapain. Lalu saya mulai mengirim CV (Curricullum Vitae) ke banyak kantor di Perancis. Dan itu memerlukan waktu juga karena sistemnya harus diketik ulang ke web site masing-masing. Kadang-kadang saya diserang rasa jenuh, lalu saya mencoba mengingat masa lalu dan mulai menulis seperti diary,” cerita wanita yang sedang menyiapkan novel kedua yang akan bercerita seputar pergulatan hidup kembali jika mendapat pekerjaan. “Juga untuk mengetahui apakah saya betul-betul mencari kerja atau hanya santai-santai. Karena di Perancis, setelah tidak bekerja selama dua tahun akan mendapat asuransi dari pemerintah,” jelas Yetty yang sejak 2 tahun terakhir ini tidak bekerja.

Sebagai wanita karir yang superaktif, lalu tiba-tiba harus kehilangan pekerjaan, di bulan-bulan pertama, sempat membuat Yetty selama hidup di Perancis – “dan lagi tidak mudah bagi orang Asia apalagi perempuan, menjadi Bos yang anak buahnya orang Eropa.”

Sejak dua tahun terakhir ini, ketika Yetty tidak lagi menjadi ‘orang kantoran’, ia lebih memfokuskan diri sebagai ibu rumah tangga. Ia ingin menebus waktunya yang hilang bersama anak semata wayangnya Victor yang berusia 14 tahun (kelas 2 SMP). “Bayangkan, sejak Victor lahir sampai umur 12 tahun, saya selalu membawanya ke penitipan anak dari jam 7 pagi sampai jam7 malam. Sekarang saya manfaatkan betul untuk mengurus anak dan meluangkan waktu empat kali dalam setahun pulang ke Indonesia,” tutur Yetty yang mengaku uang kompensasi PHK yang didapatnya, ia belikan rumah dan membuka usaha apotik di Jakarta, dan tanah yang lumayan luas di Bali. Tentang anaknya yang tumbuh kembang di komunitas penitipan anak dan karena di Perancis sekolah gratis, “Anak tidak 100 persen milik kita. Kalau mereka dianiaya orangtuanya, walaupun masih kecil, anak berhak melapor ke polisi. Polisi berhak mengangkut anak ke tempat khusus anak-anak yang tidak cocok dengan orangtua.” Dan orangtua, lanjut Yetty, masih dapat mengunjungi anaknya. Mungkin karena sistem itu, anak bisa mandiri.

Dan mumpung belum aktif bekerja lagi, Victor memuaskan diri untuk bermanja-manja pada ibunya. “Saya juga berusaha membuat masakan kesukaannya. Itulah untuk menebus waktu yang 12 tahun hilang untuk anak,” ujar wanita yang setiap pagi minum madu dan vitamin ini. Terutama di musim dingin agar tak mudah terserang flu.

Nilai-nilai yang ditanamkan kepada anak terutama sebagai Ibu Indonesia, adalah sopan santun terhadap orangtua, itulah yang melebihi dari orang Perancis.  Karena banyak anak-anak Perancis usia 12-14 tahun, banyak yang bermasalah dengan orangtuanya. “Saya tanamkan betul budaya Indonesia, bagaimana hubungan anak dan orangtua. Sayang bilang ke Victor bahwa dia harus memberi saya kepercayaan bahwa saya adalah ibunya,” tutur Yetty yang berbicara bahasa Indonesia kepada anaknya meski dijawab dalam bahasa Perancis.

Meja makan menjadi tempat yang seru dan mengasyikkan untuk saling berbagi pengalaman sehari-sehari dalam keluarga Yetty. Biasanya hari Jumat dan Minggu malam, Yetty akan menghiasi meja dengan taplak dan bunga yang cantik. Dikeluarkannya perangkat makan yang istimewa untuk makan malam.

Seperti umumnya masyarakat Perancis, sambil makan pelan-pelan mereka saling berbagi cerita. “Anak saya cerita tentang sekolahnya, suami cerita tentang pekerjaan kantor dengan penuturan yang sesuai dengan daya tangkap anak, dan saya tentang kegiatan rutin,” celoteh wanita yang biasa tidur pukul 12 malam.

Meski sekarang belum lagi aktif bekerja, wanita yang fasih bahasa Perancis, Inggris, dan Spanyol ini, tetap mencintai Perancis sebagai tempatnya berkarir.  Menurutnya, orang Perancis sangat sportif, artinya siapapun yang berprestasi akan dihargai, tak perlu koneksi seperti di Indonesia. 


Karena berkarir di Perancis pula, ia berhasil mewujudkan cita-cita masa kecilnya untuk keliling negara-negara di Dunia.  Bahkan seminggu dalam sebulan, wanita yang menempati sebuah rumah berlantai 4 di kawasan Fontenay Aux Roses – 4 kilometer di selatan kota Paris ini, berkeliling ke negara-negara seperti Dubai, Amerika Latin, Brazilia, Kanada, dan Asia untuk mengaudit kantor cabang.

Setiap kali bepergian ke negara-negara lain, Yetty paling suka membeli cinderamata khas negara itu seperti senjata khas Paraguay yang mirip senjata suku Aborigin, bumerang. “Hanya ukirannya yang berbeda. Kalau Aborigin ukirannya tipikal sekali, nah kalau Paraguay lebih kaku,” cerita wanita yang juga suka membawa aneka batu-batuan yang masih asli, belum digosok untuk perhiasan.

“Tapi kalau untuk hidup, saya tetap mencintai Indonesia. Dengan tabungan hasil kerja di sana, saya akan menikmati masa tua di Indonesia. Seperti akar pohon, meski pohonnya setinggi apapun, akarnya tidak akan kemana-mana,” tegas Yetty yang berencana menghabiskan masa tuanya di Bali ini.

Masih ada cita-cita yang ingin dicapai Yetty. “Kalau Tuhan memberkati, sebelum nafasku putus aku ingin membangun sekolah di kampungku Siborong-borong. Sebab kalau saya pulang kekampung, saya sering melihat anak-anak kecil yang menarik kerbau berjalan di titian sawah sambil melihat anak lain bersekolah yang mungkin jaraknya 3 kilometer atau lebih. Sedih sekali aku melihatnya ,” ujarnya. Yang penting, tambahnya, aku sehat. Apa yang aku pikirkan selama Tuhan masih memberiku kesempatan harus kujalankan.

Rini Clara.
(Putri Penulis Alm. W.S. Rendra)

 

PHOTOS

 

 

 

 

 

Previous articleMenikmati Holat Kuliner Khas Tapanuli Selatan
Next articleGunung Sinabung Erupsi Lagi, GobatakPeduli Bentuk Tim Penggalangan Dana untuk Korban Gunung Sinabung

3 COMMENTS

  1. “Kalau Tuhan memberkati, sebelum nafasku putus aku ingin membangun sekolah di kampungku Siborong-borong. ” semoga mimpimu terkabul namboru…

  2. “Kalau Tuhan memberkati, sebelum nafasku putus aku ingin membangun sekolah di kampungku Siborong-borong. ”
    Cita-cita Mulia pasti akan terwujud dan di muluskan jalan nya oleh sang Pencipta.
    Tetap semangat Inanguda.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.