Piso Surit adalah salah satu tarian Suku Karo yang menggambarkan seorang gadis sedang menantikan kedatangan kekasihnya. Penantian tersebut sangat lama dan menyedihkan dan digambarkan seperti burung Piso Surit yang sedang memanggil-manggil.
Piso dalam bahasa Karo sebenarnya berarti pisau dan banyak orang mengira bahwa Piso Surit merupakan nama sejenis pisau khas orang karo. Sebenarnya Piso Surit adalah kicau burung yang suka bernyanyi. Kicau burung ini bila didengar secara seksama sepertinya sedang memanggil-manggil dan kedengaran sangat menyedihkan.
Seperti yang digambarkan juga dalam lirik lagu Piso Surit berikut:
Piso surit… Piso surit… (Burung Piso Surit)
Terpingko pingko… terdilo dilo… (Bercuit-cuit… memanggil-manggil…)
Lalap la jumpa ras atena ngena…… (Namun tak kunjung berjumpa dengan kekasih hatinya)
Ija kel kena tengahna gundari ……(Di manakah dirimu saat ini kekasihku)
Siangna menda turang atena wari …………(Dan hari pun kini menjelang senja)
Entabeh nari nge mata kena tertunduh ……(Lelap sekali sepertinya tidurmu)
Kami nimaisa turang tangis teriluh ……(Sementara aku di sini menangis menunggu)
Engo engo me dagena mulih me gelah kena ……(Sudahlah, pulanglah saja kau adik tidak usah mengharapkanku)
Bage me nindu rupa ari o turang ………(Demikianlah yang selalu engkau ucapkan)
Burung Piso Surit biasanya berkicau di sore hari. Jenis burung tersebut dalam bahasa karo disebut “pincala” bunyinya nyaring dan berulang-ulang dengan bunyi seperti “piso serit”. Seperti yang ditulis di Wikipedia bahwa kicau burung inilah yang di personifikasi oleh Komponis Nasional dari Karo, Djaga Depari, dari desa-desa dan penyelenggaraan pesta adat di Desa Seberaya diberi nama Jambur Piso Surit.
Berkat kepiawaian Djaga Depari menciptakan lagu-lagu berbasis lagu Karo, Moralitas Masyarakat Karo,Perkembangan zaman, adat-istiadat Karo, romantisme sampai kehidupan perjuangan masyarakat Karo semasa merebut kemerdekan dari tangan penjajah pada masa lalu, sehingga sang maestro dianugrahkan gelar sebagai komponis nasional Indonesia, dan kini untuk lebih mengenang jasa-jasa beliau, maka dibangun sebuah monumen Djaga Depari, di Persimpangan antara Jl Patimura, Jl. Sultan Iskandar Muda dan Jl. Letjen Djamin Ginting Medan.
[…] Religion, and Class in an Indonesian Society, 1993, menulis, ritual skala besar mulai jarang dijumpai di Karo sejak 1970-an. Redupnya ritual Sarilala ini, menurut Rita, tak lepas dari kian banyaknya orang Karo […]