Ternyata mereka bertiga adalah pasien Harapan Jaya (Harapan Jaya itu adalah tempat rehabilitasi yang diperuntukkan kepada penderita cacat fisik di Pematangsiantar), terlihat dipojok sana tertawa bersama-sama menghibur anak kecil yang usianya masih satu tahun dua bulan.
Anak balita itu terlihat bermain, tertawa dengan kedua tangan dan kepalanya nyaris tertutup kain perban yang sengaja oleh pihak medis menutupi luka bakar hampir diseluruh tubuhnya. Nama anak perempuan mungil sicantik jelita itu Fanny Agustina Barasa, kata ibunya “Barasa salah satu marga dari Pakpak, kalau Toba-nya dibilang Manik Pasaribu”, sambil menggendong Fanny.
Hendak bertanya lebih jauh apa yang terjadi dengan anak balita mungil itu kepada ibunya, tiba-tiba cewek bule meminta saya untuk memotret dua orang calon pasien penderita bibir sumbing. “Nanti, setelah dokter periksa mereka dulu” seru Katie, yang sejak tadi mulai kasak-kusuk kesana-kemari memantau anak-anak penderita bibir sumbing ditemani orangtuanya saat pendaftaran kedua Senin lalu (21 Oktober 2012).
Tidak lama kemudian satu anak digendong ibunya keluar dari ruang pemeriksaan, bergegas menghampiri dan (kamera pocket sudah dari tadi siap membidik) jepret!! Foto Farhan Sitanggang (anak laki-laki umur sebelas bulan) selesai. Lalu disusul foto Ahmalia (anak gadis umur duapuluh dua tahun) – pun selesai.
Saat itu sudah hampir menujukkan pukul empat lebih tiga belas menit, matahari sore yang terang itu mengarah ke Fanny si korban kebakaran tadi. Tidak terlalu banyak lagi aktifitas pendaftaran untuk operasi bibir sumbing, dengan segudang pertanyaan kuhampiri lagi oppung (nenek) dan ibunya si Fanny.
Terkejut bercampur pilu mendengar bahwa korban kebakaran itu bukan hanya Fanny, balita kecil tadi, rupanya “Kami ada empat orang menjadi korban kebakaran itu”, tegas oppung borunya Fanny boru Sitohang umur lima puluh tahun. “Anaku paling besar, Frans Barasa namanya berumur tiga tahun, meninggal setelah dua hari keadian itu.” timpal ibu Fanny, Diana boru Situmorang namanya.
Beli minyak Tanah dikasih bensin.
“Kejadian sore itu tepatnya tanggal empatbelas bulan sembilan tahun dua ribu duabelas bermula, kami hendak makan malam bersama. Lampu teplok sudah dinyalakan tepat didepan kami, agar terang, namun sudah mulai redup. Minyak tanah dalam botol lampu teplok sudah terlihat kering. Saat itu di kampung kami, Hutarea Parlilitan, sudah satu minggu listrik PLN tidak menyala, bergegaslah aku keluar untuk membeli minyak tanah ke sebuah warung ddi kampung kami.
Pesan minyak tanah satu botol, kataku kepada yang punya warung. Segera yang punya warung memberikan satu botol minyak. Lalu, dengan buru-buru aku menuju rumah untuk segera menuangkan minyak kedalam lampu templok agar anak dan dua cucuku dapat makan dalam keadaan terang.
Oh Tuhan! Ngeri aku mengingatnya kembali kejadian itu. Lampu templok yang sudah mulai redup itu segera ku isi dengan minyak yang baru saja saya beli dari warung sebelah. Saya tidak ingat dengan jelas, seperti apa suara yang kudengar. Tiba-tiba botol minyak lampu teplok yang sudah menyalah itu pecah dan memercikan minyak serta api menyambar cucuku, Fanny dan Frans, juga anakku, ibu kedua cucuku, dan juga aku.
Sekujur tubuh kami terbakar, percikan api dari minyak (yang tadi aku beli dari warung itu) berbau aneh, ini bukan minyak tanah, yah, ini bensin, pikirku. Warga dan tetangga yang mendengar teriakan dan tangisan kami segera menolong untuk memadamkan api. Sekujur tubuh kami berempat melepuh dan tebakar.” Tutur boru Sihotang.
Anakku Frans, sampai saat ini kami tidak tahu dimana kuburnya.
Diana boru Situmorang, juga tidak luput dari kejadian itu. Diana menuturkan, “Saat itu kedua anakku menjerit kesakitan, semua panik, bingung untuk menyelamatkan anakku, sebabku akupun sudah meronta kesakitan sekujur tubuku melepuh. Kami berempat memang mendapatkan penanganan, itupun seadanya. Dua hari sesudah kejadian itu, Frans, anakku paling besar tidak terselamatkan lagi, dia meninggal.
Melihat Fanny, hampir seluruh tubuhnya terbakar, kulitnya melepuh. Pikirkku dia juga akan menyusul abangnya. Saat hari itu juga, belum sempat kami menghantarkan mayat anakku untuk dikubur, kami bertigapun dilarikan ke rumah sakit Harapan di Pematangsiantar.
Bayangkan, Parlilitan menuju Pematangsiantar perasaanku hanya dua jam, mobil yang memabawa kami begitu laju hanya untuk menyelamatkan Fanny.”
Setelah hampir sebulan menjalani perawatan serta sejumlah operasi, di tempat rehabilitasi Harapan Jaya, hampir setiap sore mereka selalu bersama-sama bermain, berjalan sore mengelilingi pekarangan dan taman Harapan Jaya yang luas itu. Tawa dan canda, senang akhirnya Fanny dapat bercanda kembali.
Sesekali Fanny menangis histeris saat ku arahkan kamera saku dengan lampu blits mengarah padanya, mungkin dia trauma dengan bias lampu kamera itu. Mungkin dia trauma melihat percikan sinar-cahaya saat kejadian itu. Ibunya bercerita seakan kering air matanya, tanpa setetes air mata jatuh dipipinya saat mengatakan “satu dari kami, anakku, meninggal dari kejadian itu”.
Percakapan kami mulai berhenti sejenak, sesaat itu aku merenung betapa perihnya kejadian yang menimpa mereka ini. Kadang aku bertanya apa yang bisa kuberikan untuk dapat mengobati luka fisik yang dialami ketiga orang ini. Kekosongan itupun terisi saat Oppung boru Sihotang menyela dan mengatakan, “Sebenarnya kami sudah mulai binggung dan gelisah, harus berapa banyak yang harus kami bayarkan kepada rumah sakit ini untuk perobatan kami selama hampir satu bulan ini?”, “Tapi, seandainya, memang kami tidak mampu, biarlah, aku sudah rela tinggal disini dan mengerjakan apa saja seumur hidup di Harapan Jaya ini agar impas biaya perobatan kami, biarlah anak dan cucuku pulang, biar aku disini” katanya pelan.
Ahk. Pikiranku berputar-putar entah apa yang kupikirkan untuk mereka. Sudahlah, ku tak mau berjanji ibarat mengucapkan omongan jorok dihadapan mereka bertiga. Jika kau dan kalian semua memiliki persepsi yang sama denganku, mari kita bantu mereka, sudah kukantongi nomor yang bisa kita hubungi dalam waktu dekat ini. (Panda S)
Lihat Foto mereka lainnya di Sini http://goo.gl/3yFU2