Demi Ilmu, Anak Samosir Turun Gunung Untuk Sekolah

3

Belakangan ini kita banyak mendapati berita dari sejumah media tentang perjuangan berat sejumlah anak dari beberapa daerah untuk dapat menuju ke sekolah mereka. Terkendala oleh akses transportasi dan jarak tempuh, mereka diharuskan menantang bahaya untuk dapat duduk di bangku kelas mereka setiap harinya. Nah, satu lagi cerita nyata tentang perjuangan anak Samosir, yang mungkin sebagian besar dari anda belum pernah mendengar dan menyaksikannya, telah ikut memperpanjang potret dunia pendidikan bangsa kita, dan ini telah berlangsung bertahun-tahun.

Sebenarnya masih utuh dalam administrasi wilayah sebuah desa. Parmonangan, nama desa di pinggiran Danau Toba yang berada di Pulau Samosir, tepatnya di Kecamatan Simanindo ini dapat dikatakan terbagi dua oleh keadaan rupa buminya. Satu bagian adalah dataran berketingian sekitar 1000 meter dpl, dan yang lainnya adalah dataran berketinggian sekitar 1500 meter dpl.

Dan diantaranya merupakan lereng panjang dari Pulau Samosir itu sendiri. Sehingga masyarakat setempat sering menggunakan istilah Parmonangan atas dan Parmonangan bawah untuk menggambarkan kondisi geografis desa ini.

Di desa ini, berada di Parmonangan bawah, berlokasi SMP Negeri 3 Lontung, sekolah yang menjadi tempat belajar untuk anak di desa ini dan sekitarnya, termasuk anak yang tinggal di Lumban Sihombing, yaitu satu perkampungan kecil dalam wilayah Desa Parmonangan (atas).

Untuk dapat mengakses sekolahnya (sekitar 1000 mdpl), anak-anak Lumban Sihombing ini harus menempuh sekitar satu setengah jam berjalan kaki berangkat dari rumah (sekitar 1500 mdpl) masing-masing. Sekitar pukul 05.00 WIB, setiap harinya, mereka harus mulai berkemas agar dapat tiba di sekolah paling lambat pukul 07.00 WIB.

Dengan pakaian sekolah yang dikemas dalam ransel agar tidak kotor selama dalam perjalanan, mereka berjalan berkelompok menuruni lereng perbukitan. Demikian pula untuk pulang kembali ke rumah, mereka menempuh jarak 500 meter vertikal dari sekolah mereka.

Untuk jadwal pulang sekolah pukul 13.00 WIB, maka mereka akan tiba di rumah pada pukul 15.30. Selama 2,5 jam mereka mendaki kembali lereng bukit yang hanya ditumbuhi vegetasi perdu-perduan dengan hanya beberapa pohon pinus yang dapat dijadikan tempat berteduh.

Seperti pengalaman seorang teman, Fitriana Gultom, yang pada Kamis 23 Agustus 2012 lalu mengikuti perjalanan pulang anak sekolah ini menuju perkampungan mereka. Begitu kelas berakhir, mereka langsung menuju rumah seorang warga yang tak jauh dari kaki bukit, melepas sepatu masing-masing kemudian memulai perjalanan mendaki. Dengan pertimbangan agar sepatu mereka tak cepat rusak karena perjalanan, mereka rela menempuh perjalanan tanpa alas kaki.

Dalam cuaca cerah sekalipun, dapat dipastikan berat dan sulitnya perjalanan yang mereka tempuh. Terlebih lagi dalam cuaca yang tidak mendukung, seperti hujan misalnya. Dari keadaan ini muncul sebuah pertanyaan untuk kita, “Sekolah, apakah sebuah kewajiban atas nikmat, atau sebuah kewajiban atas derita ?

Previous articleSegelintir Tanya di balik HABATAHON (4) Begu Ganjang, nyata kah?
Next articleGunung Sinabung Berstatus Waspada

3 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.